Arsip untuk Desember, 2010

DERING SELULER DI TENGAH BENCANA

Posted in Uncategorized with tags on Desember 31, 2010 by srirumani

Oleh: Sri Rumani

Posisi Indonesia berada diantara dua Samudera Pasifik dan Atlantik bagaikan jamrud katulistiwa. Sebagai negara kepulauan yang berjumlah 17.508 pulau terbentang dari Sabang ke Merauke, mempunyai posisi strategis antara benua Asia dan Australia. Secara ekonomi posisi ini berada pada jalur perdagangan internasional, sehingga Indonesia bisa menjadi macan Asia setelah China. Apalagi jumlah penduduk 235 juta jiwa menjadi sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan, kaya sumber daya alam, dan upah tenaga kerja murah. Ada pendapatan non migas, berasal dari beragamannya flora, fauna, budaya, adat istiadat, peninggalan sejarah yang menjadi daya tarik di bidang pariwisata. Kesuburan tanahnya ibaratnya tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman, sehingga orang bilang tanah kita tanah surga, demikian lirik lagu Koes Plus. Semua ini bisa untuk mensejahterakan rakyat dan membayar hutang, bila pemerintahnya bersih (clean government), tidak KKN.

Dampak posisi strategis, secara geologis, geografis, hidrologis dan demografis, menjadi negara yang rawan bencana, karena adanya tiga lempengan tektonik yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan berada di zona Indoaustralian, Eurosial dan Pasifik. Bencana karena faktor alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor) dan non alam (epidemi, wabah penyakit), menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Selain itu bencana sosial akibat manusia karena adanya konflik sosial antar kelompok, antar komunitas masyarakat, teror dapat mengoyak rasa aman, nyaman, suasana damai, dan mencederai rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai ke Bhineka Tunggal Ika an negara Indonesia.
Manusia sebagai subyek sekaligus obyek bencana, sifatnya cenderng serakah dan tamak, bisa menjadi penyebab bencana. Pemanasan global, melebarnya lubang ozon, rusaknya ekosistem, cuaca ekstrim, karena ulah manusia. Hutan lindung dialih fungsikan untuk pemukiman, pembabatan dan pembalakan hutan dengan tebang habis bukan tebang pilih, eksplorasi tambang yang merusak lingkungan, hutan bakau disulap menjadi hutan beton, situ-situ dieksploitir untuk kegiatan bisnis, pantai direklamasi, semua itu dipolitisir “atas nama” kesejahteraan rakyat. Masalahnya sekarang “rakyat yang mana?”. Ketamakan dan kerakusan ulah manusia, sering mengabaikan tatanan yang seharusnya ditaati. Seperti kata pujangga Ranggawarsita (1802-1874):”Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahlinya terbawa, hanyut ikut arus dalam jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang berbagai halangan.” (H.Karkono Partokusuma dalam Kuntowijoyo:1987:9).
Bencana oleh ulah manusia karena loncatan kehidupan masyarakat dan budaya yaitu dari masyarakat primitif, agraris ke masyarakat informasi, tanpa melalui masyarakat industri. Kondisi ini ternyata dapat menguncangkan masyarakat, sehingga Ranggawarsita mengatakan:”Jaman edan yen ora edan ora komanan, ning sak beja-bejane uwong sing eling dan waspodo”, artinya mengalami jaman gila, kalau tidak ikut gila, tidak mendapat bagian (kelaparan), kalau ikut gila tidak tahan, namun sebahagia-bahagianya orang yang lupa (gila), masih lebih bahagia yang sadar dan waspada.” Tergerusnya budaya dengan kearifan lokal oleh arus budaya global adalah wujud bencana sosial yang sering tidak disadari para pemangku kepentingan. Akibatnya yang menjadi korban adalah generasi penerus yang telah “kehilangan” rasa kebersamaan, persatuan, kesatuan sebangsa, sebahasa, dan setanah air. Perilaku “autis”, yang asyik dengan dirinya sendiri, egois tanpa memikirkan orang lain menjadi ciri khas generasi facebook, twitter, gadget. Akankah ini didiamkan ?
Timbulnya bencana karena faktor alam, non alam dan ulah manusia, rupanya belum menyadarkan pemerintah untuk membuat standard operating procedure (SOP), sehingga setiap kali terjadi bencana selalu “tergagap” untuk mengelola bencana. Akibatnya dalam bencana alam selalu ada korban jiwa, kehilangan harta benda dan pekerjaan. Sebut saja banjir besar di Jakarta 2002, tsunami di Aceh 2004, gempa bumi di Yogyakarta 2006, lumpur panas Lapindo Sidoarjo 2006, gempa di Padang 2009, jebolnya Situgintung 2009, tsunami Mentawai, banjir Wasior, dan erupsi Merapi 2010, semuanya menyisakan derita, kehilangan orang-orang tercinta, kerugian materi, kerusakan lingkungan, dan beban psikologis. Diakui saat ini sudah regulasi tentang bencana yaitu UU No.24 Tahun 2007, PP No.21 Tahun 2008, Peraturan Presiden No.83/2005, namun semuanya itu perlu ada sosialisasi dan informasi. Tragisnya, alat/sistim deteksi dini bencana yang bisa memberikan informasi awal akan terjadi bencana (erupsi dan tsunami), ternyata tidak berfungsi atau hilang dicuri orang. Memalukan dan memprihatinkan !.
Dalam pasal 26 huruf c UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diatur bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi secara tertulis dan atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana. Sedangkan pasal 27 huruf c diatur setiap orang berkewajiban memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana. Ini mengandung makna informasi saat bencana menjadi kebutuhan yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Kondisi saat terjadi bencana (pernah mengalami dan merasakan dua kali kejadian bencana alam, gempa bumi 2006, dan erupsi Merapi 2010), informasi tidak jelas, tidak menentu, simpang siur, tidak ada sumber yang bisa dipercaya, sehingga terjadi kekacauan, ketakutan, kebingungan. Dalam kondisi panik, informasi menjadi barang yang sangat dibutuhkan. Sayangnya sumber dan akurasi datanya tidak bisa dipercaya, akibatnya semakin menambah kebingungan dan kekacauan. Media massa (cetak dan elektronik), ORARI, internet, dan handphone (HP) menjadi media informasi dan komunikasi yang selalu dimanfaatkan saat terjadi bencana.
Telepon seluler (HP) adalah salah satu media yang handal untuk dimanfaatkan. HP sebagai perwujudan dari konsep Nusantara 21, akan mempersatukan nusantara melalaui jaringan telekomunikasi menuju masyarakat informasi. Ciri masyarakat informasi adanya tingkat intensitas/kebutuhan informasi yang tinggi dalam kehidupan sehari – hari di organisasi tempat kerja, dan kegiatan lainnya. Pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan sosial, pengajaran dan bisnis, dengan kemampuan pertukaran data digital yang cepat dalam jarak jauh. Hal ini sejalan dengan teori Francis Bacon dalam Zulkarimein Nasution:” pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power), barang siapa menguasai pengetahuan dia akan menguasai dunia. Begitu pentingnya pengetahuan (termasuk informasi), sehingga informasi sebagai energi yang memberikan kekuatan dalam kehidupan dan penghidupan.
Perkembangan industri ponsel sangat cepat dan revolusioner, yang awalnya menjadi barang mewah dan mahal dengan fitur sederhana (SMS, telepon) saat ini dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Ponsel bukan sekedar prestise, fashion asesoris, tetapi menjadi kebutuhan pokok yang bisa dimiliki siapapun dan dimanapun. Saat ini sudah ada 180 juta pelanggan yang difasilitasi lebih dari 100.000 BTS tersebar diseluruh Indonesia. Dari pelanggan seluler itu, 95 persen adalah langganan prabayar (Sarwoto Atmosutarno, Ketua Umum ATS dalam http://www.harianberita.com). Kelengkapan fitur telepon nir label terus berkembang dan semakin canggih, sehingga dunia ini dalam genggamannya yang bisa dibawa dan diakses setiap saat. Semua ini dipicu oleh mudah dan murahnya pulsa, peran operator, peningkatan jangkauan jaringan secara kualitas dan kuantitas. Perlu dipikirkan oleh produsen seluler dan operator seluler dengan menambah fitur signal dini di HP tentang bencana alam kepada pelanggannya.
Prediksi dan perhitungan nalar manusia bisa meleset, ketika awan panas dalam sejarahnya tidak pernah sampai desanya, ternyata meleset dan membakar orang, hewan, pepohonan, rumah. Biasanya hanya lahar dingin lewat Sungai Bronggang, tidak ada sinyal awan panas menghampiri desanya, sehingga warga tetap mengadakan “yasinan” (membaca surat Yasin) yang biasa dilakukan tiap malam Jum’at. Selesai acara baru akan siap-siap mengungsi, ternyata awan panas datang lebih cepat dibanding laju motor/mobil. Dalam kondisi panik, tragis (menyaksikan kedua orang tua, dua adik dan saudara sepupu) meregang nyawa, seorang mahasiswa masih sadar dan minta pertolongan dengan selulernya (berdasarkan wawancara dengan tetangga korban tanggal 25 Desember 2010). Korban itu adalah teman sekantor waktu di Fakultas Hukum UGM dan secara kebetulan saya ketemu dengan anak satu-satunya yang masih hidup. Di depan rumahnya masih teronggok mobil Suzuki Forsa sebagai saksi bisu betapa dahsyatnya awan panas waktu itu. Kenapa sinyal ponsel masih bisa aktif disaat kobaran api yang membara ? Ternyata dekat rumah korban (sebelah tenggara) nya jaraknya 50 m, masih berdiri kokoh BTS dan ada 2 pohon yang tetap hijau daunnya. Secara logika BTS hancur karena lebih dekat dengan dam, dibanding rumah teman tersebut, namun karena arah angin sehingga BTS tetap kokoh dan masih berfungsi sehingga bantuan cepat datang.
Dering seluler saat terjadi bencana diakui sangat membantu korban untuk segera dievakuasi para relawan. Pihak korban menginformasikan kondisinya, mencari pertolongan, minta bantuan, mencari sanak saudara yang terpisah karena untuk menyelamatkan diri. Seluler bermanfaat untuk relawan dalam mencari lokasi korban, tempat pengungsian, mencari alamat pengiriman bantuan, pengiriman makanan, obat-obatan. Para jurnalis (cetak dan elektronik) juga memanfaatkan seluler untuk mengirimkan gambar, data, berita ke medianya. Sedangkan seluler bagi pemimpin (formal dan non formal), berguna untuk koordinasi, memantau, komando, menerima laporan, untuk menentukan langkah-langkah strategis. Pimpinan non formal, relawan, dan ABRI lebih gesit untuk bertindak dan bergerak, karena birokrasinya tidak rumit dan berbelit, dengan media selulernya, aksi kemanusiaan itu berjalan lancar. Dalam waktu sekejap kalau medan bencana mudah dijangkau maka bahan makanan, baju pantas pakai, obat-obatan, sudah datang, bahkan sampai berlebih. Namun bila medan bencana sulit ditembus, bantuan baru datang beberapa hari setelah bencana. Lagi-lagi dering seluler berperan untuk mencari dan menerima pesan dan informasi korban bencana yang belum mendapat pertolongan pertama.
Telepon seluler dalam kondisi tanggap darurat, sebagai media komunikasi yang handal, cepat dan murah (sering operator seluler) terjun langsung untuk memberikan layanan gratis kepada para korban bencana. Tindakan non profit dari operator seluler dalam setiap bencana ini sangat membantu para korban yang sudah kehilangan keluarga, harta benda, dan harapan. Secara psikologis bebannya berkurang karena kebutuhan informasinya terpenuhi dan dapat berkomunikasi dengan sanak saudaranya. Tak heran saat tanggap darurat posko layanan gratis yang disediakan oleh operator seluler, menjadi sasaran korban bencana dan saudaranya untuk melakukan komunikasi dan mengabarkan kondisinya. Jaringan seluler menjadi padat, sehingga informasi terputus-putus, bahkan putus sama sekali. Kondisi ini pasti mencemaskan sanak keluarga yang berada di luar kota yang tidak kena bencana, apalagi setelah melihat berita di televisi menyeramkan dan menakutkan. Namun operator seluler cekatan, gesit untuk melayaninya korban dan keluarganya. Adanya “berita yang menyesatkan” misalnya waktu gempa bumi Yogyakarta 2006 sesaat setelah gempa ada “isu tsunami”, tentu saja orang berbondong-bondong untuk menyelamatkan diri, sehingga korban yang sudah meninggal ditinggal begitu saja, orang lari terbirit-birit, naik motor, mobil, truk terbuka, untuk mencari tempat yang aman. Hal ini terulang lagi saat erupsi Merapi, karena lihat wawancara di TV dengan tokoh paranormal yang mengatakan panas akan mengarah ke Kraton Yogyakarta. Akibatnya ada yang mengungsi sampai Kraton Surakarta, dan TV itupun menuai protes keras dari warga melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Lagi-lagi seluler berperan untuk memberi informasi adanya “berita sesat” saat bencana.
Tidak itu saja, sebelum ada dapur umum perlu ada “nasi bungkus”, untuk mengganjal perut kosong para korban bencana yang mengungsi. Dering seluler untuk mengkoordinasi dan distribusi nasi bungkus, supaya tidak terjadi penumpukan disatu posko dan kekurangan di posko lain. Tanpa manajemen nasi bungkus, justru dapat menimbulkan bencana baru karena makan nasi basi, bisa sakit perut. Tujuan manajemen nasi bungkus, supaya pengungsi yang letih, panik, stres, dan trauma mendapat jatah yang layak makan. Menurut Susetiawan (http://www.kr.co.id): “nasi bungkus mempunyai makna simbolik dari aksi masyarakat”. Artinya aksi solidaritas mekanik itu terjadi spontanitas tanpa komando pinpinan formal. Ketau RT/RW menghimbau warganya melalui siaran di masjid, supaya masaknya dilebihkan untuk dibungkus, semampu dan seikhlasnya. Ketua pemuda desa yang mengorganisir anggotanya dengan selulur untuk mengambil nasi bungkus dari rumah kerumah. Setelah terkumpul baru dikirim ke tempat-tempat pengungsian. Sedang penduduk kota dengan memesan nasi bungkus di warung makan, tapi tidak tahu cara mendistribusikannya karena tidak memiliki jaringan. Solidaritas mekanik ini berjalan spontan, tanpa birokrasi dan mampu menembus sekat politik, agama, ras, suku, bahasa, tujuannya hanya satu supaya pengungsi tidak kelaparan. Ini juga wujud pertolongan pertama untuk para pengungsi korban bencana dengan memanfatkan seluler untuk mengatur nasi bungkus.
Dering seluler saat terjadi bencana masih bersaut-sautan, untuk penggalangan dana melalui SMS, atau memberi sumbangan uang lewat rekening bank yang bisa langsung dikirim melalui seluler berfitur canggih (e-banking). Ah hasil dalam waktu singkat terkumpul ratusan juta rupiah, untuk dibelikan bahan makanan dan obat-obatan. Sayangnya semua membelikan makanan instan, sehingga korban bencana bosan dengan menu yang itu-itu saja, maklum tidak terbiasa makanan instan. Lagi-lagi seluler berperan untuk mengkoordinasikan apa yang dibutuhkan oleh korban bencana ditempat pengungsian. Tenyata banyak donator lebih sering melupakan kebutuhan vital korban bencana yaitu pakaian dalam laki-laki, perempuan, dan anak-anak, handuk, peralatan mandi, peralatan tidur, susu dan makanan bayi. Ada juga pengungsi yang membutuhkan uang untuk beli bensin dan pulsa telepon seluler.
Saat pasca bencana keluarga korban dan masyarakat ingin menengok lokasi bencana, tetapi takut berkunjung karena efek samping bencana (sarang penyebaran penyakit), namun berkat promosi melalui seluler, bahwa lokasi bencana sudah aman maka bisa menjadi obyek wisata baru. Lokasi dan kondisi pasca erupsi Merapi dengan awan panas yang dikenal dengan wedhus gembel, diabadikan dalam selulernya kemudian di”upload” dalam facebook, twitter ternyata mampu menyedot perhatian wisatawan asing dan domestik untuk mengunjunginya. Akibatnya daerah Cangkringan (Kinahrejo, Bronggang) menjadi lokasi favorit dampak erupsi Merapi (obyek wisata volkanik). Artinya promosi pariwisata “Jogja Aman”, “Jogja Never Ending”, berhasil/sukses, diantaranya melalui media seluler. Apalagi bertepatan dengan libur sekolah dan long week end dalam bulan Desember 2010 ini.
Kesimpulannya pada saat terjadi bencana, saat kondisi tanggap darurat, pasca bencana dering seluler selalu bergema untuk memberi informasi dan melakukan komunikasi. Dering seluler ditengah bencana juga mampu melintas batas paham politik, agama, bahasa, suku bangsa. Tidak ada bendera organisasi dan politik, sehingga hanya ada bendera Merah Putih dan rasa “Bhineka Tunggal Ika” di lokasi penanganan bencana. Itulah makna sejati satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa dalam bingkai persatuan dan kesatuan Indonesia.
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasution, Zulkarimein. Materi pokok perkembangan teknologi komunikasi. Universitas terbuka. Jakarta. 2008.
Susetiawan. 2010. Nasi Bungkus. Diunduh dari http://www.kr.co.id tanggal 30 Desember pukul 01.34
W. Purbo, Onno.1998. Nusantara 21:kerangka konseptual. Dalam http://digilib.itb.ac.id/ diunduh tanggal 30 Desember 2010 pukul 11.47.
http://www.harianberita.com, diunduh tanggal 31 Desember 2010 pukul 14.34.