DERING SELULER DI TENGAH BENCANA

Posted in Uncategorized with tags on Desember 31, 2010 by srirumani

Oleh: Sri Rumani

Posisi Indonesia berada diantara dua Samudera Pasifik dan Atlantik bagaikan jamrud katulistiwa. Sebagai negara kepulauan yang berjumlah 17.508 pulau terbentang dari Sabang ke Merauke, mempunyai posisi strategis antara benua Asia dan Australia. Secara ekonomi posisi ini berada pada jalur perdagangan internasional, sehingga Indonesia bisa menjadi macan Asia setelah China. Apalagi jumlah penduduk 235 juta jiwa menjadi sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan, kaya sumber daya alam, dan upah tenaga kerja murah. Ada pendapatan non migas, berasal dari beragamannya flora, fauna, budaya, adat istiadat, peninggalan sejarah yang menjadi daya tarik di bidang pariwisata. Kesuburan tanahnya ibaratnya tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman, sehingga orang bilang tanah kita tanah surga, demikian lirik lagu Koes Plus. Semua ini bisa untuk mensejahterakan rakyat dan membayar hutang, bila pemerintahnya bersih (clean government), tidak KKN.

Dampak posisi strategis, secara geologis, geografis, hidrologis dan demografis, menjadi negara yang rawan bencana, karena adanya tiga lempengan tektonik yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan berada di zona Indoaustralian, Eurosial dan Pasifik. Bencana karena faktor alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor) dan non alam (epidemi, wabah penyakit), menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Selain itu bencana sosial akibat manusia karena adanya konflik sosial antar kelompok, antar komunitas masyarakat, teror dapat mengoyak rasa aman, nyaman, suasana damai, dan mencederai rasa persatuan dan kesatuan dalam bingkai ke Bhineka Tunggal Ika an negara Indonesia.
Manusia sebagai subyek sekaligus obyek bencana, sifatnya cenderng serakah dan tamak, bisa menjadi penyebab bencana. Pemanasan global, melebarnya lubang ozon, rusaknya ekosistem, cuaca ekstrim, karena ulah manusia. Hutan lindung dialih fungsikan untuk pemukiman, pembabatan dan pembalakan hutan dengan tebang habis bukan tebang pilih, eksplorasi tambang yang merusak lingkungan, hutan bakau disulap menjadi hutan beton, situ-situ dieksploitir untuk kegiatan bisnis, pantai direklamasi, semua itu dipolitisir “atas nama” kesejahteraan rakyat. Masalahnya sekarang “rakyat yang mana?”. Ketamakan dan kerakusan ulah manusia, sering mengabaikan tatanan yang seharusnya ditaati. Seperti kata pujangga Ranggawarsita (1802-1874):”Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahlinya terbawa, hanyut ikut arus dalam jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, kesengsaraan dunia karena tergenang berbagai halangan.” (H.Karkono Partokusuma dalam Kuntowijoyo:1987:9).
Bencana oleh ulah manusia karena loncatan kehidupan masyarakat dan budaya yaitu dari masyarakat primitif, agraris ke masyarakat informasi, tanpa melalui masyarakat industri. Kondisi ini ternyata dapat menguncangkan masyarakat, sehingga Ranggawarsita mengatakan:”Jaman edan yen ora edan ora komanan, ning sak beja-bejane uwong sing eling dan waspodo”, artinya mengalami jaman gila, kalau tidak ikut gila, tidak mendapat bagian (kelaparan), kalau ikut gila tidak tahan, namun sebahagia-bahagianya orang yang lupa (gila), masih lebih bahagia yang sadar dan waspada.” Tergerusnya budaya dengan kearifan lokal oleh arus budaya global adalah wujud bencana sosial yang sering tidak disadari para pemangku kepentingan. Akibatnya yang menjadi korban adalah generasi penerus yang telah “kehilangan” rasa kebersamaan, persatuan, kesatuan sebangsa, sebahasa, dan setanah air. Perilaku “autis”, yang asyik dengan dirinya sendiri, egois tanpa memikirkan orang lain menjadi ciri khas generasi facebook, twitter, gadget. Akankah ini didiamkan ?
Timbulnya bencana karena faktor alam, non alam dan ulah manusia, rupanya belum menyadarkan pemerintah untuk membuat standard operating procedure (SOP), sehingga setiap kali terjadi bencana selalu “tergagap” untuk mengelola bencana. Akibatnya dalam bencana alam selalu ada korban jiwa, kehilangan harta benda dan pekerjaan. Sebut saja banjir besar di Jakarta 2002, tsunami di Aceh 2004, gempa bumi di Yogyakarta 2006, lumpur panas Lapindo Sidoarjo 2006, gempa di Padang 2009, jebolnya Situgintung 2009, tsunami Mentawai, banjir Wasior, dan erupsi Merapi 2010, semuanya menyisakan derita, kehilangan orang-orang tercinta, kerugian materi, kerusakan lingkungan, dan beban psikologis. Diakui saat ini sudah regulasi tentang bencana yaitu UU No.24 Tahun 2007, PP No.21 Tahun 2008, Peraturan Presiden No.83/2005, namun semuanya itu perlu ada sosialisasi dan informasi. Tragisnya, alat/sistim deteksi dini bencana yang bisa memberikan informasi awal akan terjadi bencana (erupsi dan tsunami), ternyata tidak berfungsi atau hilang dicuri orang. Memalukan dan memprihatinkan !.
Dalam pasal 26 huruf c UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diatur bahwa setiap orang berhak mendapatkan informasi secara tertulis dan atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana. Sedangkan pasal 27 huruf c diatur setiap orang berkewajiban memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana. Ini mengandung makna informasi saat bencana menjadi kebutuhan yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Kondisi saat terjadi bencana (pernah mengalami dan merasakan dua kali kejadian bencana alam, gempa bumi 2006, dan erupsi Merapi 2010), informasi tidak jelas, tidak menentu, simpang siur, tidak ada sumber yang bisa dipercaya, sehingga terjadi kekacauan, ketakutan, kebingungan. Dalam kondisi panik, informasi menjadi barang yang sangat dibutuhkan. Sayangnya sumber dan akurasi datanya tidak bisa dipercaya, akibatnya semakin menambah kebingungan dan kekacauan. Media massa (cetak dan elektronik), ORARI, internet, dan handphone (HP) menjadi media informasi dan komunikasi yang selalu dimanfaatkan saat terjadi bencana.
Telepon seluler (HP) adalah salah satu media yang handal untuk dimanfaatkan. HP sebagai perwujudan dari konsep Nusantara 21, akan mempersatukan nusantara melalaui jaringan telekomunikasi menuju masyarakat informasi. Ciri masyarakat informasi adanya tingkat intensitas/kebutuhan informasi yang tinggi dalam kehidupan sehari – hari di organisasi tempat kerja, dan kegiatan lainnya. Pemanfaatan teknologi informasi untuk kegiatan sosial, pengajaran dan bisnis, dengan kemampuan pertukaran data digital yang cepat dalam jarak jauh. Hal ini sejalan dengan teori Francis Bacon dalam Zulkarimein Nasution:” pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power), barang siapa menguasai pengetahuan dia akan menguasai dunia. Begitu pentingnya pengetahuan (termasuk informasi), sehingga informasi sebagai energi yang memberikan kekuatan dalam kehidupan dan penghidupan.
Perkembangan industri ponsel sangat cepat dan revolusioner, yang awalnya menjadi barang mewah dan mahal dengan fitur sederhana (SMS, telepon) saat ini dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Ponsel bukan sekedar prestise, fashion asesoris, tetapi menjadi kebutuhan pokok yang bisa dimiliki siapapun dan dimanapun. Saat ini sudah ada 180 juta pelanggan yang difasilitasi lebih dari 100.000 BTS tersebar diseluruh Indonesia. Dari pelanggan seluler itu, 95 persen adalah langganan prabayar (Sarwoto Atmosutarno, Ketua Umum ATS dalam http://www.harianberita.com). Kelengkapan fitur telepon nir label terus berkembang dan semakin canggih, sehingga dunia ini dalam genggamannya yang bisa dibawa dan diakses setiap saat. Semua ini dipicu oleh mudah dan murahnya pulsa, peran operator, peningkatan jangkauan jaringan secara kualitas dan kuantitas. Perlu dipikirkan oleh produsen seluler dan operator seluler dengan menambah fitur signal dini di HP tentang bencana alam kepada pelanggannya.
Prediksi dan perhitungan nalar manusia bisa meleset, ketika awan panas dalam sejarahnya tidak pernah sampai desanya, ternyata meleset dan membakar orang, hewan, pepohonan, rumah. Biasanya hanya lahar dingin lewat Sungai Bronggang, tidak ada sinyal awan panas menghampiri desanya, sehingga warga tetap mengadakan “yasinan” (membaca surat Yasin) yang biasa dilakukan tiap malam Jum’at. Selesai acara baru akan siap-siap mengungsi, ternyata awan panas datang lebih cepat dibanding laju motor/mobil. Dalam kondisi panik, tragis (menyaksikan kedua orang tua, dua adik dan saudara sepupu) meregang nyawa, seorang mahasiswa masih sadar dan minta pertolongan dengan selulernya (berdasarkan wawancara dengan tetangga korban tanggal 25 Desember 2010). Korban itu adalah teman sekantor waktu di Fakultas Hukum UGM dan secara kebetulan saya ketemu dengan anak satu-satunya yang masih hidup. Di depan rumahnya masih teronggok mobil Suzuki Forsa sebagai saksi bisu betapa dahsyatnya awan panas waktu itu. Kenapa sinyal ponsel masih bisa aktif disaat kobaran api yang membara ? Ternyata dekat rumah korban (sebelah tenggara) nya jaraknya 50 m, masih berdiri kokoh BTS dan ada 2 pohon yang tetap hijau daunnya. Secara logika BTS hancur karena lebih dekat dengan dam, dibanding rumah teman tersebut, namun karena arah angin sehingga BTS tetap kokoh dan masih berfungsi sehingga bantuan cepat datang.
Dering seluler saat terjadi bencana diakui sangat membantu korban untuk segera dievakuasi para relawan. Pihak korban menginformasikan kondisinya, mencari pertolongan, minta bantuan, mencari sanak saudara yang terpisah karena untuk menyelamatkan diri. Seluler bermanfaat untuk relawan dalam mencari lokasi korban, tempat pengungsian, mencari alamat pengiriman bantuan, pengiriman makanan, obat-obatan. Para jurnalis (cetak dan elektronik) juga memanfaatkan seluler untuk mengirimkan gambar, data, berita ke medianya. Sedangkan seluler bagi pemimpin (formal dan non formal), berguna untuk koordinasi, memantau, komando, menerima laporan, untuk menentukan langkah-langkah strategis. Pimpinan non formal, relawan, dan ABRI lebih gesit untuk bertindak dan bergerak, karena birokrasinya tidak rumit dan berbelit, dengan media selulernya, aksi kemanusiaan itu berjalan lancar. Dalam waktu sekejap kalau medan bencana mudah dijangkau maka bahan makanan, baju pantas pakai, obat-obatan, sudah datang, bahkan sampai berlebih. Namun bila medan bencana sulit ditembus, bantuan baru datang beberapa hari setelah bencana. Lagi-lagi dering seluler berperan untuk mencari dan menerima pesan dan informasi korban bencana yang belum mendapat pertolongan pertama.
Telepon seluler dalam kondisi tanggap darurat, sebagai media komunikasi yang handal, cepat dan murah (sering operator seluler) terjun langsung untuk memberikan layanan gratis kepada para korban bencana. Tindakan non profit dari operator seluler dalam setiap bencana ini sangat membantu para korban yang sudah kehilangan keluarga, harta benda, dan harapan. Secara psikologis bebannya berkurang karena kebutuhan informasinya terpenuhi dan dapat berkomunikasi dengan sanak saudaranya. Tak heran saat tanggap darurat posko layanan gratis yang disediakan oleh operator seluler, menjadi sasaran korban bencana dan saudaranya untuk melakukan komunikasi dan mengabarkan kondisinya. Jaringan seluler menjadi padat, sehingga informasi terputus-putus, bahkan putus sama sekali. Kondisi ini pasti mencemaskan sanak keluarga yang berada di luar kota yang tidak kena bencana, apalagi setelah melihat berita di televisi menyeramkan dan menakutkan. Namun operator seluler cekatan, gesit untuk melayaninya korban dan keluarganya. Adanya “berita yang menyesatkan” misalnya waktu gempa bumi Yogyakarta 2006 sesaat setelah gempa ada “isu tsunami”, tentu saja orang berbondong-bondong untuk menyelamatkan diri, sehingga korban yang sudah meninggal ditinggal begitu saja, orang lari terbirit-birit, naik motor, mobil, truk terbuka, untuk mencari tempat yang aman. Hal ini terulang lagi saat erupsi Merapi, karena lihat wawancara di TV dengan tokoh paranormal yang mengatakan panas akan mengarah ke Kraton Yogyakarta. Akibatnya ada yang mengungsi sampai Kraton Surakarta, dan TV itupun menuai protes keras dari warga melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Lagi-lagi seluler berperan untuk memberi informasi adanya “berita sesat” saat bencana.
Tidak itu saja, sebelum ada dapur umum perlu ada “nasi bungkus”, untuk mengganjal perut kosong para korban bencana yang mengungsi. Dering seluler untuk mengkoordinasi dan distribusi nasi bungkus, supaya tidak terjadi penumpukan disatu posko dan kekurangan di posko lain. Tanpa manajemen nasi bungkus, justru dapat menimbulkan bencana baru karena makan nasi basi, bisa sakit perut. Tujuan manajemen nasi bungkus, supaya pengungsi yang letih, panik, stres, dan trauma mendapat jatah yang layak makan. Menurut Susetiawan (http://www.kr.co.id): “nasi bungkus mempunyai makna simbolik dari aksi masyarakat”. Artinya aksi solidaritas mekanik itu terjadi spontanitas tanpa komando pinpinan formal. Ketau RT/RW menghimbau warganya melalui siaran di masjid, supaya masaknya dilebihkan untuk dibungkus, semampu dan seikhlasnya. Ketua pemuda desa yang mengorganisir anggotanya dengan selulur untuk mengambil nasi bungkus dari rumah kerumah. Setelah terkumpul baru dikirim ke tempat-tempat pengungsian. Sedang penduduk kota dengan memesan nasi bungkus di warung makan, tapi tidak tahu cara mendistribusikannya karena tidak memiliki jaringan. Solidaritas mekanik ini berjalan spontan, tanpa birokrasi dan mampu menembus sekat politik, agama, ras, suku, bahasa, tujuannya hanya satu supaya pengungsi tidak kelaparan. Ini juga wujud pertolongan pertama untuk para pengungsi korban bencana dengan memanfatkan seluler untuk mengatur nasi bungkus.
Dering seluler saat terjadi bencana masih bersaut-sautan, untuk penggalangan dana melalui SMS, atau memberi sumbangan uang lewat rekening bank yang bisa langsung dikirim melalui seluler berfitur canggih (e-banking). Ah hasil dalam waktu singkat terkumpul ratusan juta rupiah, untuk dibelikan bahan makanan dan obat-obatan. Sayangnya semua membelikan makanan instan, sehingga korban bencana bosan dengan menu yang itu-itu saja, maklum tidak terbiasa makanan instan. Lagi-lagi seluler berperan untuk mengkoordinasikan apa yang dibutuhkan oleh korban bencana ditempat pengungsian. Tenyata banyak donator lebih sering melupakan kebutuhan vital korban bencana yaitu pakaian dalam laki-laki, perempuan, dan anak-anak, handuk, peralatan mandi, peralatan tidur, susu dan makanan bayi. Ada juga pengungsi yang membutuhkan uang untuk beli bensin dan pulsa telepon seluler.
Saat pasca bencana keluarga korban dan masyarakat ingin menengok lokasi bencana, tetapi takut berkunjung karena efek samping bencana (sarang penyebaran penyakit), namun berkat promosi melalui seluler, bahwa lokasi bencana sudah aman maka bisa menjadi obyek wisata baru. Lokasi dan kondisi pasca erupsi Merapi dengan awan panas yang dikenal dengan wedhus gembel, diabadikan dalam selulernya kemudian di”upload” dalam facebook, twitter ternyata mampu menyedot perhatian wisatawan asing dan domestik untuk mengunjunginya. Akibatnya daerah Cangkringan (Kinahrejo, Bronggang) menjadi lokasi favorit dampak erupsi Merapi (obyek wisata volkanik). Artinya promosi pariwisata “Jogja Aman”, “Jogja Never Ending”, berhasil/sukses, diantaranya melalui media seluler. Apalagi bertepatan dengan libur sekolah dan long week end dalam bulan Desember 2010 ini.
Kesimpulannya pada saat terjadi bencana, saat kondisi tanggap darurat, pasca bencana dering seluler selalu bergema untuk memberi informasi dan melakukan komunikasi. Dering seluler ditengah bencana juga mampu melintas batas paham politik, agama, bahasa, suku bangsa. Tidak ada bendera organisasi dan politik, sehingga hanya ada bendera Merah Putih dan rasa “Bhineka Tunggal Ika” di lokasi penanganan bencana. Itulah makna sejati satu bahasa, satu tanah air dan satu bangsa dalam bingkai persatuan dan kesatuan Indonesia.
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasution, Zulkarimein. Materi pokok perkembangan teknologi komunikasi. Universitas terbuka. Jakarta. 2008.
Susetiawan. 2010. Nasi Bungkus. Diunduh dari http://www.kr.co.id tanggal 30 Desember pukul 01.34
W. Purbo, Onno.1998. Nusantara 21:kerangka konseptual. Dalam http://digilib.itb.ac.id/ diunduh tanggal 30 Desember 2010 pukul 11.47.
http://www.harianberita.com, diunduh tanggal 31 Desember 2010 pukul 14.34.

DOKUMENTASI, KEARSIPAN, INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN

Posted in Uncategorized with tags on Juni 13, 2009 by srirumani

DOKUMENTASI, KEARSIPAN, INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN

Oleh: Sri Rumani

Abstrak

Apabila mendengar istilah dokumentasi, kearsipan, informasi, dan perpustakaan, dalam benak yang muncuk adalah rak-rak yang dipenuhi dengan tumpukan kertas-kertas/buku-buku yang berserakan. Tidak salah memang, karena koleksi yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut bahan bakunya dari kertas. Namun seiring dengan perkembangan teknologi informasi, maka kondisi lembaga-lembaga dokumentasi, kearsipan, informasi dan perpustakaan sudah jauh berbeda, yang lebih tertata rapi, bersih. indah, dan menyenangkan.

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi kerancuan makna istilah dokumentasi, arsip, informasi, dan perpustakaan. Hal ini terjadi karena masih langkanya literatur yang membahas secara lengkap, jelas tetapi rinci dan mudah dipahami. Dalam tulisan ini akan diuraikan seluk beluk tentang dokumentasi, arsip, informasi, dan perpustakaan. Harapannya ada sedikit bayanga tentang makna istilahnya, sehingga dapat secara cepat menelusur informasi yang dibutuhkan tanpa harus membuang waktu hanya ketidaktahuannya lembaga mana yang harus dipilih.

Kata Kunci: DOKUMENTASI, KEARSIPAN, INFORMASI DAN PERPUSTAKAAN – RUANG LINGKUP

A. Latar Belakang

Sampai saat ini  masih ada kerancuan makna dari istilah dokumentasi, arsip, informasi dan perpustakaan, sehingga yang sering terjadi ada kerancuan pemahaman. Istilah itu sulit dibedakan, karena masih kurangnya literatur yang membahas secara lengkap, jelas, dan rinci. Padahal istilah itu sering dipakai dan bahkan kita melakukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi karena kurangnya informasi yang diperoleh akhirnya sering terjadi salah kaprah dan salah dalam memanfaatkannya. Akibatnya masih sering terjadi kesalahan dalam memperlakukan informasi yang terkandung dalam dokumentasi, arsip, dan perpustakaan.

Kondisi kerancuan dan makna dokumentasi, arsip, informasi dan perpustakaan, dapat dilihat di suatu lembaga baik pemerintah maupun swasta yang mempunyai bagian-bagian dokumentasi, arsip, informasi dan perpustakaan, dengan fungsi dan peran yang banyak kemiripan. Akibatnya terjadi tumpang tindih dalam menjalalankan peran dan fungsinya atau justru semuanya “lepas tangan” dalam memberikan peran dan fungsinya. Kalau sudah begini tentu yang paling dirugikan adalah konsumen, user, pengguna, pemustaka, karena merasa “dipingpong” lempar sana, lempar sini dan akhirnya tidak mendapatkan informasi yang diharapkan.

Oleh karena itu perlu ada peran dan fungsi yang tegas antara dokumentasi, arsip, informasi, dan perpustakaan, sehingga dapat memberikan kepuasan bagi para konsumen yang dilayani. Disamping itu juga perlu ada kerjasama yang sinergis, terkoordinasi dan saling ketergantungan antara lembaga dan kolaborasi antara pengelola yang mengurusinya, sehingga sebagai partner yang saling membutuhkan dan melengkapi. Bukan seperti yang sering terjadi selama ini antara lembaga dokumentasi, arsip, informasi, dan perpustakaan saling mengklaim sebagai lembaga nirlaba yang paling dapat memberikan pelayanan kepada konsumen.

Dalam tulisan ini akan diulas peran dan fungsi lembaga dokumentasi, arsip, informasi dan perpustakaan, serta koleksi macam apa yang wajib disediakan oleh lembaga-lembaga tersebut. Hal ini dimaksudkan agar konsumen dapat tepat sasaran dan dapat memutuskan kemana harus mencari informasi yang dibutuhkan, sehingga tidak membuang-buang waktu dan biaya secara percuma.

B. Pengertian dan Kegiatan Dokumentasi, Kearsipan, Informasi, dan Perpustakaan

1. Dokumentasi

a. Pengertian

Bagi masyarakat Indonesia istilah dokumentasi selalu dikaitkan dengan kegiatan foto menfoto dalam berbagai kegiatan. Buktinya setiap kegiatan dalam kepanitiaan selalu ada seksi dokumentasi. Pengertian dokumentasi disini sama dengan pengambilan gambar/foto dari kegiatan yang dilakukan oleh panitia tersebut. Dokumentasi yang dimaksud dalam kepanitiaan itu meliputi kegiatan penyimpanan barang seperti foto, preparat, dan benda antik. Inilah yang disebut dengan dokumentasi “korporil”, yaitu penyimpanan dan temu kembali benda bukan pustaka. Kegiatan foto memfoto itu baru merupakan salah satu bagian dokumentasi, dan sebagai wahana untuk merekam kejadian yang dapat dijadikan sebagai komunikasi sesama manusia.  Selain dokumentasi korporil ada dokumentasi “literer”, yaitu penyimpanan dan temu kembali berupa pustaka.

Istilah dukumentasi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Otlet dan Henri la Fontaine pada tahun 1895 di Belgia. Waktu itu dokumentasi mempunyai makna sebagai pengawasan bibliografi, yaitu usaha pencatatan setiap buku yang diterbitkan. Tujuan pengawasan untuk menyususn bibliografi universal, yaitu daftar buku yang diterbitkan diseluruh dunia. Kemudian  awal abad ke-20 makna dokumentasi sebagai perpustakaan khusus, yang berubah lagi menjadi setiap kegiatan yang mencakup penyalinan bentuk dari bentuk buku ke dalam bentuk mikro, yang trrnyata tidak memberikan rasa nyaman untuk membacanya karena harus memakai alat pembaca (micro reader).

Difinisi dokumentasi di Indonesia, adalah pekerjaan mengumpulkan, menyusun, dan mengelola dokumen-dokumen literer yang mencatat semua aktivitas manusia dan yang dianggap berguna untuk dijadikan bahan keterangan dan penerangan mengenai berbagai soal (Sulistyo Basuki, 1996: 11). Difinisi ini seirama dengan tugas kewajiban dokumentasi menurut Peraturan Presiden No.20 Tahun 1961 yaitu menyediakan keterangan-keterangan dalam bentuk dokumen baru tentang pengetahuan dalam arti yang luas sebagai hasil kegiatan manusia dan untuk keperluan itu mengumpulkan dan menyusun keterangan-keterangan tersebut.

b. Jenis-jenis Dokumentasi

1). Menurut Sifatnya

Dokumen sebagai obyek menyediakan informasi yang dapat dibedakan menurut sifatnya menjadi 2 jenis yaitu dokumen tekstual yitu yang isinya dalm bentuk teks tertulis baik berupa huruf maupun angka. Sedangkan dokumen nontektual disajikan dalam bentuk bukan tertulis. Jenis nontekstual ini dibagi lagi menjadi dokumen ikonik (peta, atlas, cetak biru, denah, grafik, poster, lukisan, foto, dan slaid). suara (rekaman, piringan hitam, kaset), audio-visual (film, video, TV), dan dokumen yang bersifat material (bola dunia, karya artistic, huruf braillle, mainan peraga). Sekarang ada dokumen campuran yaitu sebagai gabungan dokumen tekstual dan nontekstual misal membeli buku yang dilengkapi kaset, CD.

2). Menurut Ketajaman Analisis

Pembagian ini lazim digunakan dalam dokumentasi yaitu dokumen primer, sekunder, dan tertisier. Dokumen primer berisi laporan penelitian, aplikasi teori, Termasuk dokumen primer yaitu majalah, makalah, disertasi, paten. Sedangkan dokumen sekunder berisi informasi mengenai dokumen primer (dokumen sekunder tidak mungkin terbit bila tidak ada dokumen primer) Contohnya bibliografi, catalog, majalah, indeks, majalah abtrak, daftar isi. Dokumen tersier mengumpulkan, menyarikan dan memindahkan informasi yang ada di dokumen sekunder dan primer. Termasuk dokumen tersier adalah bibliografi dari bibliografi, direktori panduan literatur, buku ajar.

c. Profesi Dokumentalis

Di Eropa Barat , pengolahan artikel majalah ilmiah dilakukan tenaga ilmuwan yang secara tegas menyebut dirinya sebagai dokumentalis, bukan pustakawan, Tugas seorang dokumentalis adalah mengolah majalah beserta isinya, mengembangkan system temu kembali serta menyebarkan isinya.

Sedangkan di Amerika Serikat pengolahan majalah ilmiah dilakukan oleh pustakawan yang bekerja pada perpustakaan khusus. Oleh karenanya pengertain dokumentasi identik dengan pustakawan khusus.

Profesi dokumentalis di Indonesia tidqk dikenal walau sebenarnya sudah menjalankan pekerjaannya yaitu menghimpun, mengolah, menyimpan, dan mendistribusikan dokumentasi.

2. Kearsipan

a. Pengertian

Istilah arsip berasal dari bahasa Yunani Archaios yang berarti lama, kuno, namun arsip mempunyai makna sebagai power atau kekuasaan (Arche). Dari kata Arche jadi kata Archeion atau Archivum (bahasa Latin), yangberarti gedung pemerintahan, tempatnya para penguasa itu berada. Lama-lama Archium tidak hanya berarti gedungnya saja, tetapi isi dari apa yang terdapat dalam gedung/disimpan dalam gedung itupun dinamakan arsip. Jadi tidak heran awam selalu beranggapan bila mendengar istilah arsip yang terlintas dalam benaknya adalah kertas-kertas yang sudah lama/kuno.

Namun demikian seiring dengan kemajuan teknologi informasi, maka arsip saat ini sudah ada yang berbentuk elektronik, yang disimpan dalam file-file, sehingga semakin memberikan kemudahan untuk mencarinya kembali bila dibutuhkan, Lembaran kertas dialih mediakan menjadi lembaran elektronik, sehingga dapat menghemat ruangan dan nampak rapi, bersih dan indah. Hasil  alih media arsip disimpan dalam bentuk file-file yang secara fisik direkam dalam media elektronik seperti Harddisk, CD, DVD dan lain-lain.  Penyimpanan file-file ini dilengkapi dengan pangkalan data yang membentuk sistem arsip elektronik, yang terpadu .

Menurut Schellenberg, arsip sebagai berkas pranata umum/swasta yang dinilai perlu disimpan secara permanen untuk tujuan acuan dan penelitian dan telah disimpan/dipilih di lembaga kearsipan. Sedangkan menurut UU No.7 Tahun 1971 tentang Pokok-pokok Kearsipan, sebagai naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintah serta badan-badan swasta/perorangan dalam bentuk corak apapun baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pelaksanaan kehidupan kebangsaan.

b. Jenis-jenis Arsip

Arsip yang lebih sering berupa surat yang bentuknya sebagai lembaran kertas bertuliskan. Arsip dapat dibedakan menurut: subyeknya (arsip kepegawaian, keuangan, pemasaran, pendidikan), bentuknya (surat, pita rekaman, microfilm, disket, CD), nilai kegunaan (informasi, administrasi, hukum, sejarah, ilmiah, keuangan, pendidikan). Disamping itu juga menurut sifat kepentingannya (arsip tidak berguna, berguna, penting, vital), menurut fungsinya (arsip dinamis, dan statis), menurut tempat pengelolaannya (arsip Pusat, Arsip Unit), menurut keasliannya (arsip asli, tembusan, salinan, petikan), dan menurut kekuatan hukum (arsip otentik, dan tidak otentik).

c. Profesi Arsiparis

Profesi arsiparis sebenarnya sudah dijamin oleh UU No.7/1971 tentang Pokok-pokok Kearsipan. Dalam pasal 6 dan 7 dikatakan bahwa pemerintah berkewajiban mengadakan, mengatur dan mengawasi pendidikan kader ahli kearsipan, Pemerintah mengatur kedudukan hukum dan kewenangan tenaga ahli kearsipan, dan melakukan usaha-usaha untuk menjamin tenaga ahli kearsipan sesuai dengan fungsi serta tugas dalam lingkungannya.

Hak arsiparis yang sudah jelas dituangkan dalam Undang-undang sejak tahun 1971, pada kenyataannya belum bisa dirasakan oleh para arsiparis. Walaupun saat ini sudah mendapatkan tunjangan fungsional tiap bulan, tetapi pengembangan kariernya masih mengambang. Artinya kenaikan pangkat belum bisa 2 tahun sekali sebagaimana pustakawan, tetapi masih 4 tahun sekali, karena belum ada tim penilai angka kredit untuk arsiparis. Sementara hak pustakawan secara hukum baru ada setelah disahkannya UU No.43 Tahun 2007. Pasal 31 mengatakan pustakawan berhak atas penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan kesejahteraan sosial, pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas, dan kesempatan menggunakan sarana, prasarana, fasilitas perpustakaan untuk menunjang kelancaran tugasnya.

3. Informasi

a. Pengertian

Difinisi informasi adalah penerangan, keterangan, pemberitahuan, kabar atau berita yang mengandung gambar ataupun lambing-lambang. Menurut Sulistyo Basuki (1996: ), informasi mencakup pengertia: data numerik (angka), audi (suara), teks (tulisan), citra (gambar, santir/image).

b. Ilmu Informasi

Ilmu yang mempelajari informasi disebut ilmu informasi, dan baru tumbuh sesudah Perang Dunia II, pada tahun 1959, oleh Moore School of Engineering University of Philadelphia. Kemudian pendidikan ilmu formasi dimulai tahun 1960. Informasi lebih mengutamakan temu baliknya daripada penyebarannya.

Ilmu informasi tumbuh karena masalah komunikasi, yang menyangkut teknis (pengiriman berita, semantik (pengertian berita), dan efektivitas dalam transfer berita. Kemudia masalah literature, adanya ledakan informasi karena setiap karya ilmiah harus diterbitkan agar menjadi milik umum. Dan masalah sistem informasi yang menyangkut literatur/buku, semakin tambah literatur tambah masalah pengadaan, pengolahan, penyimpanan, pengawetan, temu balik dan penyebarannya.

Saat ini ada trend semua yang berbau informasi mempunyai daya tarik  yang luar biasa, karena arahnya nanti masyarakat berbasis informasi. Bahkan siapa yang cepat menguasai informasi maka dialah yang dapat memenangkan kompetisi dalam segala hal (pekerjaan, kehidupan, karier, jodoh, rumah, angkutan dll). Oleh karenanya dalam pendidikan tinggi jurusan informasi peminatnya selalu berjubel dibandingkan jurusan-jurusan yang sudah jenuh (hukum, ekonomi).

4. Perpustakaan

a. Pengertian

Pengertian perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka (Bab I pasal 1 angka 1 UU No.43/2007).

Perpustakaan sering juga diartikan sebagai tempat/gedung, tetapi juga berarti koleksinya itu sendiri. Bayangan pertama bila mendengar istilah perpustakaan adalah rak-rak yang dipebuhi dengan tumpukan buku. Tidak salah memang, karena perpustakaan  berasal dari kata”pustaka/library”, dari kata Latin “liber/libri” yang artinya buku. Kemudian menurut SK Menpan No.18/1988 perpustakaan sebagai satuan kerja yang minimum mempunyai 1.000 judul koleksi yang terdiri sekuarng-kurangnya 2.500 eksemplar.

b. Fungsi dan Jenis-jenis Perpustakaan

Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Adapun tujuan diadakan perpustakaan adalah untuk memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangas.

Kalau melihat fungsi dan tujuannya, betapa mulianya misi yang diemban oleh lembaga perpustakaan, apalagi pustakawannya yaitu seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan kepustakawanan yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.

Di Indonesia perpustakaan ada 5 jenis, yaitu Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus (pasal 20).

c. Profesi Pustakawan

Profesi pustakawan bila dibandingkan profesi arsiparis, dokumentalis, dan informasi lebih jelas dan terbuka lebar untuk pengembangan kariernya. Di Indonesia profesi ini mulai dikenal publik sejak tahun 1988 dengan dikeluarkannya SK Menpan No.18/1988 yuncto SEB Menteri P dan K dan Kepala BAKN No.53649/MPK/1988, No.15/SE/1988 tentang Angka Kredit bagi jabatan Pustakawan. Kenaikan pangkat, tunjangan fungsional, tim penilai, sudah lebih jelas dibandingkan dengan profesi arsiparis, dokumentalis dan infomasi.

Namun demikian ada hal yang menjadikan perpustakaan seperti jalan ditempat (walau ada yang sudah maju pesat). Kondisi ini dikarenakan SDM yang ada saat ini masih orang-orang lama yang masuk menjadi pustakawan karena impassing (penyesuaian) bukan karena pendidikan. Penulis yakin bila pustakawan sudah dijabat oleh orang-orang yang mempunyai pendidikan Pusdokinfo minimum D3, yang kreatif, inovatif, dan berpikiran maju tentunya kondisi perpustakaan secara umum dapat dikatakan “baik”. Sekarang ini sedang masa transisi, peralihan generasi ditubuh pustakawan Indonesia, dimana generasi tua masih yang sudah mulai “terengah-engah” mengejar kemajuan teknologi informasi tetapi masih “enggan” dan “belum rela” dengan memberikan kepercayaan kepada generasi muda yang memang masih “segar tenaga dan pikirannya”. Akibatnya perpustakaan sulit maju karena pustakawan senior yang masih patuh dengan cara konvensionalnya sulit menerima masukan dan ide-ide segar dari pustakawan yunior yang sudah “melek komputer”.

E. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dokumentasi, kearsipan, informasi dan perpustakaan di masyarakat masih terjadi kerancuan pengertian. Masyarakat sering dirugikan karena tujuannya ingin mendapatkan informasi tidak kesampaian, tetapi kekecewaan. Padahal lembaga dokumentasi, arsip, informasi, dan perpustakaan itu dibentuk tujuannya untuk memberikan jasa pelayanan penelusuran informasi.

Dari lembaga-lembaga tersebut maka muncullah profesi dokumentalis, arsiparis, ahli informasi, dan pustakawan. Namun dari semuanya itu yang paling dikenal dan jelas jenjang kariernya adalah profesi pustakawan walau hak-haknya secara hukum dijamin baru tahun 2007, bila dibandingkan dengan arsiparis sudah sejak tahun 1971. Kondisi ini tentu tidak lepas dari peran para pustakawan senior (khususnya Ibu Mastini Hardjoprakosa, dan kawan-kawannya) dengan ilmunya dari manca negara telah bersusah payah menyakinkan para pemimpin negeri ini pada waktu itu (era Ode Baru). Kita sekarang tinggal melanjutkan perjuangannya yang tidak mengenal lelah telah memajukan kepustawakanan di Indonesia.

Daftar Pustaka

http://stilampung.blogdetik.com/2008/09/19/arsip-elektronik/, diunduh tanggal 5 Februari 2009 jam 23.11

Basuki, Sulistyo. 1996. Dasar-dasar Dokumentasi. Jakarta: Universitas Terbuka.

——. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

——. 1992. Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sugiarto, Agus. 2005. Manajemen Kearsipan Modern: dari konvensional ke basis komputer. Yogyakarta: Gava Media.

Undang-undang No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan . Jakarta: Graha Ilmu.

KEAMANAN DAN KENYAMANAN PERPUSTAKAAN

Posted in Uncategorized on Juni 13, 2009 by srirumani

KEAMANAN DAN KENYAMANAN PERPUSTAKAAN
Oleh: Sri Rumani
Abstrak
Perpustakaan menjadi pusat informasi, sumber belajar, tempat penelitian, pendidikan bahkan untuk rekreasi bagi para pengunjung yang memanfaatkannya. Oleh karena itu harus dibuat seaman dan senyaman mungkin, agar pemustaka merasa kerasan, senang, bahkan menjadikan perpustakaan sebagai rumah kedua. Selain akses informasi mudah di perpustakaan juga dapat menemukan suasana yang bisa menyegarkan pikiran.
Rasa aman dan nyaman ini dipengaruhi oleh sarana prasarana dan sumber daya manusia (pustakawan dan staf lainnya). Namun dari keduanya itu faktor manusia menjadi unsur utamanya sedang sarana prasarana sebagai unsur penunjang. Kondisi aman dan nyaman dapat diciptakan dengan biaya murah dan mudah.
Kata kunci: PERPUSTAKAAN – RASA AMAN DAN NYAMAN

A. Latar Belakang
Perpustakaan tidak saja sebagai tempat untuk mencari informasi bagi orang yang akan melakukan penelitian, membuat karya tulis, makalah, tugas kuliah, membuat artikel, feature, tetapi juga sebagai tempat untuk bersantai, refreshing, rekreasi (otak) bagi pengunjungnya. Oleh karena itu tidak ada salahnya perpustakaan menjadi tempat yang menyenangkan, memberi inspirasi, menciptakan karya, menuangkan gagasan, sehingga perlu dibuat suasana yang nyaman dan aman. Kondisi nyaman dan aman perlu dibentuk, mengingat salah satu fungsi perpustakaan adalah sebagai tempat untuk rekreasi, yang semestinya perlu membuat rancangan interior perpustakaan secara matang. Konsep ini tidak saja melibatkan rancang bangun dari ahli interior, tetapi perlu melibatkan pustakawan yang paling mengetahui peruntukan suatu ruangan/gedung perpustakaan. Jadi kesan formal, monoton, kaku apalagi kumuh harus dirubah menjadi humanis, fleksibel, bersih, rapi, indah tetapi professional dan prima.
Faktor penyebab suasana aman dan nyaman di perpustakaan, tidak hanya ditentukan oleh sarana (alat) dan prasarana (penunjang) tetapi juga sumber daya yang lain yaitu orang/manusia yang memberikan pelayanan. Sarana dan prasarana sebagai benda mati, artinya tidak mempunyai perasaan dan hati, sehingga dapat diperlakukan apa saja dan ditempatkan dimana pun, tidak akan berontak dan protes. Berbeda dengan sumber daya yang berwujud manusia, sebagai makhluk hidup tentu mempunyai hati, perasaan, simpati dan empati, sehingga harus diperlakukan secara hati-hati, bagaikan memperlakukan “kaca kristal”, karena mahal, rumit, dan unik sifat dan karakternya.
Tulisan ini mencoba menguraikan rasa nyaman dan aman yang berasal dari faktor sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Namun penulis menyadari bahwa sumber daya manusia sangat dominan dalam menentukan rasa aman dan nyaman di perpustakaan. Baik buruknya, maju mundurnya, mudah dan sulitnya akses perpustakaan ditentukan oleh manusia sebagai motor penggeraknya. Secanggih dan sehebat apapun sistem yang dipakai kalau sumber daya manusia yang menjalankan tidak berkualitas dan kompeten dibidangnya, tentu tidak ada artinya. Sebaliknya dengan kondisi yang pas-pasan sarana dan prasarana, sistem informasi itu kalau dikendalikan oleh orang yang kompeten dan berkualitas, pasti dapat memberikan akses yang mudah dan lancar. Ini terjadi karena orang mempunyai intelektual, yang dapat diberdayakan untuk memikirkan kemajuan perpustakaan. Namun yang harus diingat, masing-masing orang mempunyai kapabilitas yang berbeda, sehingga walau secara intelektual sudah mengenyam pendidikan yang sama, ternyata dalam prakteknya kinerjanya berbeda. Menurut Kartini Kartono (1974:21), kepribadian orang itu unik dan khas baik mencakup struktur biologis/jasmaniah dan justru dari disinilah rasa aman dan nyaman itu dapat diciptakan.
Kepribadian yang unik dan khas dari setiap orang itu dapat dijadikan modal yang hebat bila dikelola dengan benar dan proporsional. Sebaliknya juga berpotensi merusak citra perpustakaan dan pustakawan itu sendiri bila tidak diarahkan dengan baik dan benar. Sebab disadari atau tidak SDM di perpustakaan seringkali dapat merusak citranya sendiri, padahal sudah dengan susah payah dibangun. Oleh karenanya bagi manajer perpustakaan tugasnya tidak saja mengelola sumberdaya berupa barang, tetapi yang lebih penting dan perlu “olah rasa” adalah mengelola sumber daya manusia dengan segala plus minusnya dan karakternya yang unik.

B. Kondisi Perpustakaan pada Umumnya
Berdasarkan pengamatan, kalau ditinjau dari rasa aman dan nyaman kondisi perpustakaan pada umumnya masih memprihatinkan, jauh dari harapan apalagi ideal. Artinya berada di perpustakaan belum memberikan rasa nyaman apalagi aman. Kondisi tidak nyaman dan aman ini tidak saja semata-mata karena sarana dan prasarana yang tidak memadai, tetapi bisa dari sumber daya manusia di perpustakaan yang kurang menyenangkan.
1. Sarana dan Prasarana
Pada umumnya kondisi sarana dan prasarana di perpustakaan kurang mendapat prioritas dari pimpinan, walaupun pustakawan sudah proaktif mengajukan. Sering terjadi sarana dan prasaran perpustakaan sangat minimalis, kalaupun sudah ada tidak memenuhi standar karena sejak awal tidak diperuntukkan khusus untuk perpustakaan. Akibatnya sarana dan prasarana ini bisa menjadi penyebab tidak aman dan nyaman bagi para pengunjung perpustakaan. Misalnya kursi dan meja baca tidak ergonomis, rak terlalu tinggi (sampai 6 sap), atau terlalu lebar, terlalu sempit, locker tidak ada kuncinya (ada tapi mudah rusak), panas, pengap, ampek, sumpek, sempit, banyak barang, sehingga seperti “pasar senggol”, suasana yang gaduh, ramai, berisik. Disamping juga kondisi furniture, yang sudah kusam warna catnya, rusak karena tangan jahil yang tega melakukan tindakan merusak dan mengotori. Lokasi ruang juga bisa menjadi penyebab tidak nyaman, misalnya di lantai 3 tanpa ada lift, sehingga perlu stamina tinggi, dan para penyandang difabel kesulitan untuk akses informasi ke perpustakaan. Lebih parah lagi, kamar mandi sering tidak ada air karena masalah teknis tidak dapat naik, debit air kecil dan lain-lain.
Perpusnas telah menyusun standar sarana dan prasarana untuk berbagai jenis perpustakaan, namun masih sulit dilaksanakan. Mengapa ? Hal ini disebabkan oleh apresiasi pimpinan tertinggi yang membawahi perpustakaan, karena “UUD” ujung-ujungnya duit, seberapa kucuran dana dilokasikan untuk perpustakaan (termasuk perlengkapan furnitur). Jadi seberapapun perjuangan pustakawan untuk mengajukan perlengkapan sarana dan prasarana kalau pimpinan tidak mengalokasikan anggaran untuk perpustakaan, tentunya tidak dapat direalisasikan. Jadi sangat tergantung pada “selera” pimpinan dan seberapa tinggi apresiasinya dengan perpustakaan. Walau sudah ada pimpinan yang mengapresiasikan perpustakaan, tetapi sebatas pada pengembangan koleksi. Dalam kondisi ini peran pustakawan diperlukan untuk memberi masukan (bukan mendikte pimpinan) berdasarkan ilmu perpustakaan. Disinilah pustakawan diuji untuk bisa tampil dengan citranya yang positif. Bermodal sikap, sopan santun, rasa hormat, informasi jelas, penampilan meyakinkan, jujur, dan kerja keras, maka pimpinan pasti akan merespon dengan baik. Berdasarkan pengamatan kenapa pimpinan selama ini tidak respek dengan perpustakaan, ternyata bukan semata-mata kesalahan pimpinan, tetapi pustakawannya punya andil. Maka mulai sekarang para pustakawan perlu introspeksi diri, karena citra negatif itu tanpa disadari justru kita sendiri yang menciptakan. Misalnya pustakawan dinilai pimpinan tidak dapat bersikap dengan baik, sering mengingkari janji, tidak kerja keras dalam melaksanakan kewajiban, tidak jujur (dalam berkata dan membuat laporan statistik, keuangan, dll).

2. Sumber Daya Manusia
Faktor sumber daya manusia menjadi penentu terjadinya rasa aman dan nyaman di perpustakaan. Mengapa ? Karena setiap manusia memiliki kebutuhan dasar seperti teori Maslow yaitu fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri. Intinya manusia itu mempunyai tendensi untuk mencapai tujuan hidup dengan penuh makna dan memuaskan, walau sebagai makhluk tidak pernah merasa puas, karena kepuasan itu sifatnya sementara. Namun manusia ada kecenderungan mendahulukan dan menuntut haknya untuk memuaskan hawa nafsunya, daripada melaksanakan kewajibannya. Kondisi ini bisa dipahami, dan sangat manusiawi. Masalahnya, tidak semua orang menyadari kewajibannya, sehingga lebih ingat pada haknya semata. Akibatnya pengunjung perpustakaan terabaikan kepentingannya, dan merasa tidak nyaman dengan sikap pustakawan yang “merasa dibutuhkan” daripada “harus memberi pelayanan” yang terbaik.
Pustakawan sebagai makhluk sosial pastinya mempunyai ikatan emosional dengan individu lain, sehingga kepingin dihargai, dihormati, dan disegani. Oleh karenanya dalam hal ini sikap pustakawan sangat berpengaruh terhadap rasa nyaman dan rasa aman di perpustakaan. Trurstone dalam Daniel J. Mueller (1996:3-4) mendifinisikan sikap sebagai jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, pra pemahanan yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal khusus. Kemudian Emory Bogardus dalam Daniel J. Mueller (1996:4), menyatakan sikap adalah suatu kecenderungan bertindak kearah atau menolak suatu faktor lingkungan.
Masalahnya sikap pustakawan terhadap pengunjung perpustakaan lebih memilih “apa mauku, bukan apa mau mereka”. Padahal salah satu indikasi adanya keprimaan sesuatu termasuk pelayanan adalah “memenuhi kebutuhan pelanggan”. Kepuasan pelanggan (pengunjung perpustakaan), justru semakin jauh dari harapan pengunjung, manakala sikap pustakawan lebih mementingkan dirinya sendiri daripada untuk pelayanan. Pelayanan dikatakan prima apabila pelanggan mendapatkan “lebih dari apa yang mereka harapkan”.

C. Keamanan dan Kenyamanan di Perpustakaan
Keamanan berasal dari kata “aman” yang berarti bebas dari bahaya, bebasa dari gangguan (pencuri, hama), terlindung/tersembunyi, tidak dapat diambil orang, pasti tidak meragukan, tidak mengandung risiko, tenteram, tidak merasa takut atau khawatir. Keamanan berarti keadaan aman, ketenteraman (KBBI, 1998:25). Sedangkan kenyamanan berasal dari kata “nyaman” yang berarti segar, sehat atau sedap, sejuk, enak. Jadi istilah kenyamanan berarti keadaan nyaman, kesegaran, kesejukan (KBBI, 1988:619).
Kebutuhan rasa aman (need for self security) menurut Maslow dalam E. Koeswara (1986: 120-121) sebagai kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketenteraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Indikasi dari ketidak amanan dan ketidak nyamanan pengunjung perpustakaan dapat dilihat dari waktu berada di ruangan, berapa kali berkunjung dalam seminggu, dan ada kesan positif setelah berkunjung di perpustakaan.
Kesan positif ini karena tata ruang yang dirancang sedemikian rupa, sehingga memberi kesan luas, walau sebenarnya ruangan itu sempit. Tata letak perabot ternyata berpengaruh dengan rasa aman dan nyaman di perpustakaan. Disamping itu bahan yang dipakai untuk perabot (kayu, asbes, triplek, plastik, besi). Warna cat untuk perobot dan dinding, hiasan yang dipasang, bentuk ruangan/gedung, lokasi. Tidak kalah pentingnya adalah pencahayaan, sirkulasi udara, suhu ruangan, dan tempat ibadah, kamar mandi/WC, jaringan air, listrik, telepon menjadi penentu untuk kondisi perpustakaan aman dan nyaman.
Selain dari sarana dan prasarana yang disebutkan tadi, ternyata pustakawan nyaris tidak pernah disadari sebagai pemicu utama dan pertama terjadinya suasana tidak aman dan nyaman di perpustakaan. Kenapa ? Pustakawan sebagai pribadi, tentu mempunyai karakter dan sifat yang berbeda-beda. Tidak jarang pengunjung merasa tidak aman dan nyaman bukan dari sarana dan prasarananya yang kurang baik, tetapi justru dari pustakawan dengan sikap yang tidak menyenangkan. Misal tutur katanya kurang sopan, kasar, cuek, ketus, galak, keras dalam menegur, muka masam saat melayani, dan lain-lain.

D. Memimpikan Perpustakaan Ideal
Penulis sering mengikuti seminar, lokakarya, diskusi yang membahas tentang perpustakaan ideal. Dari hasil pemaparan para panelis sering konsepnya ada diawang-awang, tidak membumi, jangkaunnya terlalu jauh kedepan, sementara peserta seminar masih tetap duduk manis di tempat alias stagnan. Belum ada penelitian yang membahas seberapa jauh efektivitas konsep seminar itu mempunyai manfaat langsung, sehingga berpengaruh terhadap kinerja dan kondisi perpustakaan.
Sebagai pustakawan rasanya wajar mempunyai impiam tentang perpustakaan yang ideal, walau masih diragukan apakah dapat menjadi kenyataan. Bekal ilmu dari kuliah, diklat, seminar lokakarya, diskusi, rasanya tidak dapat diterapkan begitu saja. Walau ada kompetensi pada diri pustakawan kalau tidak ditunjukkan kepada lingkungan kerja, siapa yang dapat mengerti dan mengapresiasi. Apalagi pimpinan, mana sempat memperhatikan perpustakaan, karena urusannya dan pikirannya terkuras untuk membuat konsep global, sementara perpustakaan hanya sebagai salah satu bagian dari organisasi yang dipimpin. Jadi jangan salahkan pimpinan tidak memperhatikan, tidak mengapresiasi pustakawan, kalau pustakawan itu hanya duduk manis menunggu waktu pulang kantor. Padahal banyak hal yang bisa dikerjakan oleh pustakawan untuk mewujudkan perpustakaan ideal.
Perpustakaan ideal bisa diukur dari sarana dan prasaran dan sumber daya manusia yang menanganinya. Namun sumber daya memegang peran yang penting karena, sumber daya yang lain dikendalikan oleh manusia. Impian sederhana tentang perpustakaan ideal, disana ada pustakawan yang menyambut dengan senyum ramah, jujur, sikap santun, responsife dengan perubahan, cekatan, luwes, profesional, dan ikhlas. Walau banyak teori tentang sikap dan performance, tidak ada artinya bila tidak diaplikasikan. Kuncinya pustakawan harus ikhlas menjalani tugas dan tanggung jawabnya, ada atau tidak ada “nilai rupiahnya”, semua harus dijalani dengan senang hati dan penuh semangat. Namun tidak banyak pustakawan yang ideal seperti ini, lebih banyak yang bersemangat untuk bekerja “karena nilai rupiah”. Maksudnya begini, memang benar kita kerja untuk mencari uang, ttetapi uang bukan segala-galanya. Jadi ada atau tidak ada uangnya kita wajib tetap bekerja dengan penuh semangat.
Kemudian, indikasi sarana dan prasarana, yang berupa perabotan tidak harus yang berharga mahal, apalagi yang sudah ada diganti dengan yang baru. Perabotan kantor yang baru dari segi disainnya memang bagus, tetapi dari segi kekuatannya pasti kalah dengan yang bahannya dari kayu. Bukan alergi perubahan, kalau yang sudah ada bisa dimanfaatkan, lebih kuat dan awet, kenapa musti membeli yang baru tetapi cepat rusak. Kesan kaku, monoton, akan bisa berubah menjadi humanis kalau pustakawannya melayani dengan ramah dan menyenangkan. Perabot yang ada di perpustakaan sebagai benda mati, yang sangat tergantung pada pustakawannya bagaimana menata dan meletakkannya. Sarana dan prasara sebagai perabotan yang harus ada di perpustakan. menjadi alat penunjang untuk memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan. Kursi, meja baca, rak buku, meja sirlukasi, locker, komputer, AC, CCTV, dan lain sebagainya, semua dimaksudkan agar suasana di perpustakaan menjadi aman, dan nyaman.
Rasa aman, bila pengunjung dapat leluasa menaruh barang-barang berharganya tanpa rasa khawatir akan hilang atau ketukar dengan orang lain. Caranya ada locker yang kuncinya tidak mudah rusak, atau ada penjaganya yang khusus melayani penitipan barang dengan memberi nomor penitipan seperti di toko swalayan. Pemasangan CCTV sebagai alternatif lain bila ada memungkinkan, dan meminimalkan kasus pencurian di perpustakaan. Kemudian rasa nyaman di perpustakaan karena sirkulasi udara, suasana ruangan, perlengkapan yang mendukung (toilet, AC, warna cat, hiasan dinding). Tanaman hidup, musik yang lembut, lokasi perpustakaan yang mudah dijangkau, dekat dengan kegiatan pengunjung, juga dapat mempengaruhi rasa nyaman.

E. Penutup
Rasa aman dan nyaman di perpustakaan dapat dipengaruhi oleh 2 (dua) hal penting yaitu sumber daya manusia (pustakawan dan staf perpustakaan) dan sarana prasarana. Pustakawan dan staf sebagai sumber daya yang dapat merencanakan dan membuat suasana perpustakaan menjadi aman dan nyaman.
Sikap pustakawan dan staf perpustakaan disadari atau tidak ternyata dapat memberikan kesan aman dan nyaman. Oleh karena itu sikap pustakawan harus dirubah agar dapat memberikan suasana kondusif untuk terwujudnya kenyamanan di perpustakaan. Melayani dengan ramah, sapa, salam, senyum, sopan santun, jujur, tulus ikhlas jauh lebih indah dibandingkan dengan melayani dengan cemberut, uring-uringan, sewot, kasar, dan galak.

Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Bahan Pembelajaran Diklat Prajabatan
II. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai.
Kartono, Kartini. 1974. Teori Kepribadian dan Mental Hygiene. Bandung: Alumni.
Koeswara, E. 1986. Teori-teori Kepribadian. Bandung Eresco.
J. Mueller, Daniel. 1986. Mengukur Sikap Sosial: Pegangan Untuk Peneliti dan
Praktisi. Jakarta: Bumi Aksara.

KOMPETENSI PUSTAWAKAN

Posted in Tidak Dikategorikan with tags on Januari 4, 2009 by srirumani

KOMPETENSI PUSTAKAWAN DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN DI PERPUSTAKAAN NASIONAL

Oleh: Sri Rumani

Abstrak

Memperoleh informasi adalah hak setiap orang, oleh karena itu sudah selayaknya kalau informasi itu mudah diakses dengan biaya yang murah. Kehadiran teknologi informasi di perpustakaan diakui memberikan dampak positif bagi pemustaka dan pustakawan, sehingga dapat meningkatkan kualitas layanan. Namun tidak jarang justru dengan teknologi dapat menghambat akses informasi, sehingga pemustaka merasa dirugikan. Kondisi ini dapat terjadi karena pustakawan sebagai motor penggeraknya belum siap dan tidak mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi.

Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana kompetensi pustakawan Indonesia dalam menghadapi teknologi infomasi yang berkembang sangat cepat. Berdasarkan pengamatan ternyata di Indonesia belum ada standar kompetisi pustakawan. Saat ini baru disiapkan oleh Perpustakaan Nasional sebagai pembina semua jenis perpustakaan di Indonesia.

Teknologi informasi diyakini dampaknya dapat meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga pemustaka merasa puas. Namun yang tetap harus diingat, kualitas SDM, ragam koleksi, sarana dan prasarana, manajemen pelayanan, dan sistem yang komprehensif tidak saja menjadi faktor pendukung, tetapi juga penghambatnya.

Kata Kunci: KOMPETENSI PUSTAKAWAN – TEKNOLOGI INFORMASI –

KUALITAS LAYANAN

I.Pendahuluan

Suatu ketika ada mahasiswa datang ke perpustakaan dengan wajah kecewa, sedih, dan putus asa, karena literatur yang dicari sudah tidak ada ditempatnya. Kenapa ?. Ternyata literatur yang berupa skripsi telah dialih mediakan dari cetak ke digital. Masalah timbul karena skripsi tersebut bentuk cetaknya sudah dihancurkan, tetapi bentuk digitalnya tidak bisa diakses karena sistemnya belum jalan. Kalau sudah begini apakah sistemnya yang tidak beres, perangkat kerasnya, atau pustakawannya yang memutuskan dan mengendalikan tidak kompeten ?. Kasus ini menjadi sangat ironis,ditengah hiruk pikuk perkembangan teknologi informasi yang diyakini dapat meningkatkan kualitas pelayanan, tetapi justru menghambat pelayanan. Jadi bagaimana sikap pustakawan ditengah gelombang teknologi informasi yang sangat cepat berubah ini ?

Sikap pustakawan ada yang menolak dan menerima kehadiran teknologi informasi. Menolak, yang dilakukan oleh pustakawan “konvensional/generasi tua”, (tidak semuanya) karena ada yang susah payah belajar menyesuaikan, supaya tidak “gagap teknologi”. Bagi pustakawan yang “alergi perubahan karena teknologi”, secara alamiah terpinggirkan dari arena kompetisi di gelanggang perpustakaan. Sekelumit kasus diatas membuktikan bahwa pustakawan belum kompeten dibidang teknologi informasi. Akibatnya pemustaka dirugikan karena sudah ada teknologi informasi (dengan alih media), tetapi bukannya dapat meningkatkan kualitas pelayanan, namun justru tidak bisa diakses. Kalaupun sudah kompeten, disinyalir ada “gap” antara pustakawan yang “melek teknologi” dengan “yang buta teknologi”.

Perubahan didunia kepustakawanan saat ini semestinya menjadi momen yang menarik karena dapat mengubah “image” perpustakaan menjadi tempat berburu informasi para pemustaka. Perpustakaan dapat mengeluarkan aura energi positif yang semakin menarik. Terlebih dengan hadirnya perpustakaan digital ditengah perpustakaan konvensional. Daya tariknya bagaikan “bunga yang sedang merekah”, sehingga menarik kumbang-kumbang untuk selalu datang dan menyedot sari putiknya. Sungguh luar biasa, teknologi telah menjadikan perpustakaan sebagai “surga dunia”, yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi pustakawan dan pemustaka.

Dalam tulisan ini ada tiga pokok bahasan yang akan diuraikan yaitu kompetensi pustakawan, teknologi informasi dan kualitas pelayanan. Obyek perpustakaan dibatasi hanya di Perpustakaan Nasional RI, yang merupakan salah satu jenis perpustakaan di Indonesia dan berkedudukan di Ibukota Negara.

II. Kompetensi Pustakawan di Indonesia

Berbicara masalah kompetensi pustakawan di Indonesia sampai saat ini belum ada pedomannya yang dijadikan acuan. Jadi apa ukuran, bagaimana sistem, aturan main, siapa yang berhak melakukan uji kompetensi, tempat ujian dimana, apa materi ujian,dan lain-lain. Kompetensi diartikans sebagai tolok ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan dan skill atau kemampuannya. Ada dua jenis kompetensi yang diperlukan oleh pustakawan yaitu kompetensi profesional dan perorangan (Salmubi, 2005). Para pustakawan pemikir di Perpustakaan Nasional sedang bekerja keras untuk membuat standar kompetensi, mengingat Perpustakaan Nasional sebagai pembina untuk semua pustakawan dan perpustakaan di Indonesia. Selain standar pustakawan, harus ada standar koleksi, sarana dan prasarana, pelayanan, penyelenggaraan dan pengelolaan.

Tugas berat tetapi mulia yang telah diamatkan oleh Undang-undang No.43/2007, bahwa pustakawan harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar nasional (pasal 11). Kalau profesi dosen dan guru sudah atau sedang dilakukan sertifikasi, dengan melakukan pemberkasan. Setelah minimum mengumpulkan angka 800, maka akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti formal pengakuan menjadi tenaga profesional. Konsekwensinya para guru dan dosen yang sudah lolos sertifikasi mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokoknya. Bagaimana dengan pustakawan yang juga sebagai tenaga kependidikan dan jumlahnya di seluruh Indonesia hanya 2.867 orang (data tahun 2005) ?.

Menurut Hernandono (2005:4) problem yang dihadapi oleh pustakawan madya dan utama adalah kurang menguasai bahasa asing dan kurang akrab dengan teknologi dan komunikasi informasi (ICT). Hal ini mengakibatkan pustakawan menjadi “kelompok marginal” dalam masyarakat informasi, karena komunikasi lebih sering memanfaatkan teknologi informasi. Akibat selanjutnya pustakawan menjadi semakin tertinggal jauh bila tidak merespon dengan cepat perubahan yang terjadi disekelilingnya. Bagaikan katak diatas tempurung yang diisi air panas, bila tidak segera meloncat keluar atau menyesuaikan suhu air pasti akan mati sia-sia. Intinya dalam masyarakat informasi ini pustakawan harus dapat menyesuaikan diri dan cepat tanggap dengan perubahan yang terjadi disekitarnya. Pustakawan tinggal memilih bertahan dalam komunitasnya atau menyingkir dan menjadi “kutu loncat”, pindah jalur dari fungsional ke struktural. Adalah hak asasi seseorang ketika dalam komunitasnya sudah tidak nyaman kemudian meninggalkannya, walau telah mengantongi ijasah ilmu perpustakaan. Hidup adalah pilihan, namun secara moral patut disayangkan, karena siapa lagi yang akan peduli dengan perpustakaan ketika tidak menjanjikan “materi” kemudian ditinggalkan begitu saja.

Masalah kompetensi ini penulis mengusulkan agar setiap mahasiswa D3, S1, S2 yang telah lulus wajib mendaftarkan sebagai anggota Ikatan Pustakawan Indonesia di Pengurus Daerah berdasarkan domisili penduduk (KTP). Setelah terdaftar sebagai anggota dengan hak dan kewajibannya, sebagai prasyarat untuk mencari Surat Ijin Kerja (SIK) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional. SIK ini hanya dikeluarkan setelah lulus ujian kompetensi yang dilaksanakan oleh Perpusnas kerjasama dengan PD IPI. Secara periodik (misal setiap 5 tahun) yang telah lulus uji kompetensi diuji lagi, sehingga pustakawan tetap konsisten dan kompeten di jalur profesinya. Tidak ada maksud mempersulit pustakawan berprofesi, dan bukan berarti memperpanjang birokrasi, tetapi semata-mata agar profesi pustakawan terpantau dan terkordinir, sehingga dapat diketahui “peta pustakawan di Indonesia”. Mestinya perlu dasar hukum yang berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat 3 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai standar nasional perpustakaan (termasuk standar tenaga perpustakaan), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

III. Teknologi Informasi untuk Perpustakaan

Tak heran jika saat ini berbagai jenis perpustakaan berlomba-lomba memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Walau diakui untuk memanfaatkan teknologi di perpustakaan butuh dana yang relatif besar. Untuk itu pustakawan harus bisa melobi pimpinan agar yakin dan akhirnya menyetujui rencananya. Masalahnya tidak semua pustakawan mempunyai kemampuan melobi dan melakukan koordinasi serta mengkomunikasikan permasalahan dan potensi yang ada di perpustakaan. Kalaupun ada kemampuan melobi, pimpinan masih “belum percaya” dengan kinerja pustakawan. Keahlian melobi, koordinasi dan komunikasi tidak secara khusus masuk materi kuliah di program studi atau jurusan ilmu perpustakaan dan informasi, tetapi hanya disisipkan dalam materi kuliah manajemen perpustakaan.

Menurut penulis keahlian melobi, koordinasi, dan komunikasi termasuk kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan di lapangan. Materi kuliah atau diklat lebih menonjolkan pengetahuan teknis yang didominasi hanya untuk kepentingan pustakawan bukan pemustaka. Contohnya materi klasifikasi, analisis subyek, diskripsi bibliografi, yang intinya untuk memudahkan penelusuran hanya bermanfaat bagi pustakawan bukan pemustaka. Kenyataannya pemustaka tidak mau tahu koleksi itu diklasir nomor berapa ditaruh di rak mana, yang pasti pemustaka hanya ingin koleksi itu dapat ditemu kembalikan dengan cepat, tepat, akurat, mudah dan murah. Intinya pemustaka ingin pelayanan yang benar-benar prima karena seiring dengan mobilitasnya yang tinggi, sehingga tidak mempunyai waktu luang untuk berlama-lama di perpustakaan.

Makna teknologi informasi itu sebagai teknologi yang dapat menyimpan, menghasilkan, mengolah, dan menyebarkan informasi (Sulistyo Basuki: 1991: 87). Berbicara tentang teknologi, ternyata tidak saja terbatas pada perangkat keras (alat), dan perangkat lunak (program), tetapi juga sumber daya manusia sebagai penentunya. Ambisi menerapkan teknologi di perpustakaan tanpa diimbangi oleh kualitas sumber daya manusia yang kompeten dibidangnya, ternyata justru dapat merugikan pemustaka. Padahal teknologi informasi dapat menciptakan jejaring (networking) antar perpustakaan dan pustakawannya. Dan menjadi alat bantu yang telah tebukti dapat memperlancar dan mempercepat urusan administrasi, pengolahan, penelusuran dan pelayanan di perpustakaan

Yang termasuk teknologi informasi menurut Sulistyo Basuki 1991:87-88) antara lain telekomunikasi, sistem komunikasi optik, sistem pita-video dan cakram video, komputer, mikrobentuk, jaringan kerja data, surat elektronik, vidioteks dan teleteks. Jadi tidak hanya berupa komputer, Perpustakaan digital kedepan menjadi model untuk peningkatan pelayanan ditengah perpustakaan cetak. Kolaborasi perpustakaan yang secara bersama-sama (menyediakan koleksi cetak dan digital) disebut perpustakaan hibrida. Artinya perpustakaan dengan koleksi cetak masih dipertahankan, dan perpustakaan digital yang berbasis teknologi informasi harus disediakan oleh berbagai jenis perpustakaan di Indonesia termasuk Perpustakaan Nasional.

Perubahan itu bagaikan magnit yang dampaknya sangat dirasakan oleh pemustaka dan pustakawan. Pemustaka terasa dimanjakan dengan pelayanan yang berbasis TI, sedangkan pustakawan berkembang menjadi profesi yang patut dibanggakan. Bahkan bisa disebut sebagai “agen perubahan” bagi lingkungannya. Benarkah ? Jawabnya ada pada diri pustakawan masing-masing dalam mensikapi “trend” yang sedang menjadi pusat perhatian berbagai pihak. Perpustakaan digital dapat memberikan wacana baru, bagaikan “permainan” yang mengasyikan dan tidak membosankan. Daya tariknya luar biasa, sehingga citra perpustakaan secara pasti mempunyai image positif dimata pemustaka dan pimpinan yang membawahi perpustakaan, yang nantinya berimbas pada masyarakat. Tidak heran bila Pimpinan mulai menaruh kepercayaan terhadap perpustakaan, dengan memberikan komitmen (dana dan pikiran) terhadap perubahan dan perkembangannya. Buktinya pustakawan selalu dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan lembaga induk (pembuatan RKAT, Rapat Pimpinan (Rapim) dan Rapat Kerja Fakultas (RKF, kalau dilingkungan perpustakaan Perguruan Tinggi). Bahkan ada pimpinan yang sudah mulai mengalokasikan dana sebesar 5 persen dari anggataran instansi (sesuai dengan UU No.43/2007).

Perubahan dilingkungan perpustakaan ini merupakan fenomena yang menarik, mengingat perpustakaan sebagai bagian penting dalam mencerdaskan kehidupan manusia. Terlebih dalam masyarakat informasi seperti saat ini, diakui atau tidak perpustakaan sebagai institusi yang ideal untuk belajar sepanjang hayat (life long learning). Disamping itu perpustakaan juga sebagai wahana ideal untuk memenuhi “hak informasi” bagi setiap warga negara di Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 28 huruf f UUD 1945 Amandeman.

Teknologi informasi untuk perpustakaan bukan “monster” yang perlu ditakuti dan dijauhi dan bukan “dewa” yang harus diagung-agungkan.dan dipuja-puja. Pemanfaatan teknologi informasi mulak diperlukan, untuk mengimbangi kebutuhan pemustaka yang semakin beragam dan kompleks. Namun yang harus diingat, secanggih apapun teknologi itu, tetap dioperasikan oleh manusia sebagai brain ware nya. Kehadiran teknologi informasi perlu disikapi dengan arif bijaksana mengingat dampak yang ditimbulkan sering kali justru dapat menghambat pelayanan. Disamping itu teknologi informasi termasuk investasi mahal dan jangka panjang. Ini adalah tantangan bagi para pustakawan menghadapi tuntutan pemustaka yang beragam dan pimpinan yang sering kurang “perhatian” dengan perpustakaan.

IV. Idealisme Kualitas Pelayanan di Perpustakaan Nasional

Masih ingat dalam benak penulis ketika menjadi anggota di Perpustakaan Nasional tahun 1989-1991, saat itu lebih sering kecewa dengan pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan yang masih jauh dari ideal, karena tergantung pada selera pustakawan. Sistem peminjaman tertutup, sehingga katalog manual menjadi andalan untuk penelusuran, ditambah sikap pustakawan yang jauh dari simpatik dan berjiwa penolong, harus menunggu dalam hitungan jam. Kenapa ? Karena bagian sirkulasi ada di lantai 4, sementara koleksinya ada di lantai 3, lebih kecewanya setelah menunggu lama ternyata buku yang dimaksud tidak ditemukan (karena dipinjam atau salah letak), akhirnya pulang tidak membawa hasil padahal sudah datang jauh-jauh dari Depok ke Salemba Raya 28, dan untuk acuan tugas yang harus segera diselesaikan. Akhirnya mencari ke perpustakaan Yayasan Mas Agung (perpustakaan pribadi H. Mas Agung pemilk Toko Gunung Agung), ternyata ada dan mendapat pelayanan yang cepat, ramah, dan menyenangkan. Tugas kuliah pun bisa diselesaikan tepat waktu.

Dari pengalaman pribadi itu menjadi catatan penting bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Perpustakaan Nasional perlu ada hal-hal yang harus diperhatikan:

1. Kualitas SDM

SDM menjadi ujung tombak dan motor penggerak perpustakaan. SDM disini meliputi pustakawan dan non pustakawan. Secanggih apapun teknologi informasi yang dimanfaatkan oleh perpustakaan, maka tidak ada artinya manakala SDM yang merencanakan, mengoperasikan tidak berkompeten. Berdasarkan data tahun 2005, Perpustakaan Nasional mempunyai 700 orang pegawai, pustakawannya ada 178 orang atau 25 % nya, (Hernandono, 2005:5). Dari jumlah 178 orang itu sepertiganya adalah tenaga pustakawan yang diangkat berdasarkan inpassing/penyesuaian. Dapat dibayangkan sebagai perpustakaan pembina dengan tugas yang sangat berat, dukungan SDM nya masih belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas. Padahal sebagai instansi pemerintah selalu mempertahankan “zero growth/pertumbuhan nol”, artinya baru mengangkat pegawai kalau ada formasi karena pensiun. Untuk mengatasi SDM, bisa melakukan “out sourcing”, merekrut tenaga yang mempunyai latar belakang teknologi informasi dengan sistem kontrak, atau tenaga paruh waktu.

2. Ragam Koleksi

Perpustakaan Nasional sebagai perpustakaan deposit berdasarkan amanah UU No.4/1990, plus memiliki koleksi unggulan berupa koleksi khusus (naskaah kuno, koleksi langka, koleksi peta dan lukisan, serta audio visual. Apalagi koleksi Negara Kertagama mendapat penghargaan dari UNESCO, yang patut dibanggakan Koleksi unggulan ini menjadi acuan bagi para peneliti baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dan para mahasiswa untuk menyelesaikan tugasnya.

Jumlah koleksi monograf berdasarkan data tahun 2007 ada 86.814 judul (155.421 eksemplar). Naskah kuno (2008) ada 9.942 eksemplar, audio visual 3.683 judul (6.258 eksemplar), koleksi peta dan lukisan 20.302 judul (27.676 eksemplar), dan buku langka 80.000 judul (188.940 eksemplar). Koleksi buku langka tertua adalah kisah perjalanan para kapten Italia yang melewati Indonesia, terbitan tahun 1556. Koleksi audiovisual terdiri dari microfilm, mikrofish, CD-ROM, DC, VCD/DVD, kaset rekaman suara dan album foto.

Koleksi naskah kuno dan audio visual agar informasinya tetap bisa dimanfaatkan maka perlu ada perawatan khusus yang dilakukan oleh ahlinya. Khsususnya koleksi naskah kuno yang merupakan “harta karun”, supaya informasinya dimengerti oleh anak cucu perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menghindari “kehilangan informasi” dari naskah kuno perlu dialih mediakan ke bentuk digital. Sedang yang masih tersimpan di luar negeri segera diambil alih kepemilikannya. Untuk itu dalam dalam menyusun RKAT (Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan) perlu dimasukkan anggaran untuk memburu naskah kuno di luar negeri.

3. Sarana dan Prasarana

Pemanfaatan teknologi informasi mutlak untuk mengimbangi permintaan pemustaka yang beragam dan mengubah image perpustakaan agar sebagai graha informasi yang nyaman, dan menyenangkan. Caranya, ruangan kosong, kantin, mushola, loby, ruangan teater, selasar, parkiran, ruang tunggu, dll dari gedung Perpustakaan Nasional baik yang ada di Jl. Salemba Raya 28 maupun Medan Merdeka Selatan sebagai area Wifi, yang dilengkapi fasilitas stop kontak listrik. Dengan demikian pemustaka yang datang dengan lap top dapat leluasa untuk memanfaatkan fasilitas internet tanpa harus masuk ruangan khusus internet. Semuanya digratiskan (sesuai dengan sifat perpustakaan sebagai penyedia jasa yang nir laba). Namun untuk setiap pemilik lap top yang akan akses internet harus didaftarkan terlebih dahulu.

Alasan arena Wifi, mengingat internet telah menjadi fasilitas utama, sebagai alat bantu penelusuran informasi yang cepat, komplit, mudah, akurat, dan relatif murah. Saat ini juga telah banyak digunakan web 2.0 sebagai suatu media untuk berkomunikasi dan berbagai pengalaman dan cerita, berbagi gambar, berbagai audio (Dave Pattern dalam Ida Fajar Priyanto:2008:3). Dengan basis web 2.0 katalog yang dulu hanya deskripsi biblografi dan deskripsi isi/subyek, saat ini katalog dilengkapi dengan daftar isi, review, dan komentar pembaca buku.

4. Manajemen Pelayanan

Manajemen pelayanan sebagai proses atau aktivitas yang dilakukan oleh pustakawan kepada pemustaka yang sifatnya tidak dapat diraba (kasat mata), tetapi dapat dirasakan. Pelayanan yang baik bisa diwujudkan bila posisi tawar pemustaka lebih tinggi daripada pustakawan, sehingga menempatkan pemustaka sebagai “raja yang harus dilayani”. Jadi pustakawan adalah “pelayan profesional” dari pemustaka, namun tidak boleh berjiwa “pelayan/menghamba”, artinya pemustaka tidak bisa seenaknya memerintah diluar diskripsi kerjanya. Pustakawan harus tegas tetapi sopan bila diperintah oleh pemustaka di luar keprofesiannya.

Agar perpustakaan tetap eksis dalam masyarakat informasi dan tidak terjebak pada slogan non profit, maka kepuasan pemustaka harus diutamakan. Orientasinya bukan lagi untuk kepentingan pustakawan tetapi untuk “pure custumer”, sehingga perlu ada “custumer service”. Pemustaka harus mendapatkan rasa aman, nyaman, senang, berkesan, sehingga begitu masuk dan keluar perpustakaan selalu mendapatkan senyum manis, keramahan pustakawan. Pelayanan yang cepat, akurat, mudah, dan murah serta siap pakai (ready for use), pasti akan mendapatkan respon positif dari pemustaka.

Pustakawan di era informasi ini dituntut memberikan pelayanan prima, yang berasas sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau. Menurut Keputusan MENPAN No.81/1993 yuncto Keputusan MENPAN No.63/2003 sendi-sendi pelayanan prima adalah sederhana, jelas dan pasti (dalam prosedur, persyaratan), aman, terbuka, efisien, ekonomis, adil, tepat waktu, akurat, tanggung jawab, lengkap, mudah diakses, disiplin, sopan, ramah, ikhlas dan nyaman.

5. Sistem Komprehensif

Maksud sistem disini adalah sistem (perangkat lunak) yang dipakai oleh perpustakaan. Komprehensif artinya menyeluruh, jadi dalam sistem itu sudah terakomodir semua kepentingan dan kegiatan yang ada di perpustakaan. Pengolahan dengan data entri, mencetak barcode, nomor panggil. Pelayanan, mulai identitas anggota, cetak kartu anggota, bebas pustaka. Presensi kehadiran, jam berapa, asal anggota (dalam atau luar lembaga). Menelusur (OPAC), melihat jumlah koleksi, masih tersedia berapa, kalau dipinjam siapa yang pinjam, kapan kembali, dimana alamatnya. Kemudian sudah mempunyai pinjaman buku berapa, apa saja, kena denda berapa. Jenis koleksi termasuk referensi, teks, audio visual, dan lain-lain.

V. Penutup

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan kompetensi dibidang teknologi informasi mutlak dimilki oleh setiap pustakawan. Oleh karena itu Perpustakaan Nasional sebagai pembina semua jenis perpustakaan perlu segera memberikan masukan kepada Presiden (dalam menetapkan Peraturan Pemerintah). PP ini sebagai payung hukum untuk standar-standar sebagaimana diamanatkan dalam pasal 11 (1) UU No.43/2007. Perpusnas dapat menjalin kerja sama dengan para pustakawan dari jenis-jenis perpustakaan yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Hernandono. 2005. Meretas kebuntuan kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi sumber daya tenaga perpustakaan. Makalah Orasi ilmiah dan pengukuhan Pustakawan Utama. Perpustakaan Nasional: Jakarta.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

Priyanto, Ida Fajar. 2008. Tantangan baru dunia kepustakawanan: menuju masa depan yang berubah. Makalah pada kuliah umum untuk S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi di UIN SUKA. Yogyakarta: 26 Agustus.

Salmubi. 2005. Membangun kepustakawan Indonesia: tugas dan tanggung jawab pustakawan professional pada era informasi. Makalah Rapat Kerja dan Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia. Surakarta: 13-15 Nopember.

Sulistyo Basuki. 1991. Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

www.pnri.co.id